Maybe You Know My Name, But Not My Story


Kalimat itu muncul di salah satu slide show Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) kelas sore, 31 Maret 2018 lalu, di Jendela Ide, Sabuga. Saya seperti diingatkan. Belakangan ini saya hidup di tengah dunia yang gaduh. Setiap orang ingin menyampaikan ceritanya dan akan berteriak lebih keras ketika suaranya tertelan oleh cerita-cerita lain. Ketika semua orang berseru lantang, siapa pendengarnya? Dan ketika tidak ada yang mendengarkan, apa gunanya berteriak keras-keras?

Dialog adalah deep listening. Ketika mendengarkan, kita tidak mencari pembenaran, tetapi kebenaran. Bukan beradu argumentasi agar menang, tetapi berusaha menyeberang untuk memahami lawan bicara kita. Dialog menumbuhkan simpati, empati, dan akhirnya mempersatukan manusia dalam perdamaian. Saya jadi ingat perumpamaan yang diungkapkan teman saya ketika sedang membuat kue beberapa waktu yang lalu, “Setelah jadi adonan, gula bukan gula lagi. Tepung bukan tepung lagi. Mereka punya identitas baru…”

Sekolah Damai Indonesia merupakan penyeimbang yang sejenak melindungi telinga kita dari hingar bingar di luar sana. Namun, bukan berarti kita diajak menyumpal telinga. Di Sekodi kita justru belajar mempertajam pendengaran dan memilah-milah yang sungguh penting agar dapat merekatkan yang retak.
“Aku”, seperti juga “kamu”, adalah bagian dari “kita”. Perdamaian adalah sesuatu yang bersifat universal.

Ceritakan ceritamu kepadaku, Teman. Kisahmu adalah bagian dari kisahku.


Sundea
Penulis kelontong www.salamatahari.com

Comments